Yustinus Prastowo
Direktur Eksekutif CITA
Belakangan ini, sentimen nasionalisme menguat, terutama berkaitan dengan isu penguasaan kekayaan alam dan aset ekonomi. Misalnya soal pengambilalihan Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina dan sebelumnya Blok Mahakam dari Total ke Pertamina. Ini diimbuhi heroisme divestasi saham PT Freeport Indonesia yang mengharu biru. Namun, di lipatan sejarah yang lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengizinkan PT Lapindo Brantas kembali beroperasi, seolah hanya mempertegas amnesia kolektif kita.
Tentu saja menjadi hal baik dan konstitusional bahwa seluruh kekayaan alam harus diusahakan bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tapi tidak otomatis bahwa semua harus dikelola dan dijalankan sendiri, apalagi anti-asing. Ilmu ekonomi cukup benderang menjelaskan bahwa efisiensi, skala ekonomi, kemampuan modal, dan tata kelola yang baik menjadi faktor penentunya. Maka, isunya bukan pada apakah sumber daya harus dikelola perusahaan nasional, melainkan tata kelola seperti apa yang efisien dan menghasilkan keuntungan maksimal? Venezuela berhasil menasionalisasi pengelolaan minyak yang sebelumnya dikuasai asing, tapi apakah hasilnya berujung pada kemakmuran rakyat? Tidak, karena tata kelolanya buruk disertai komplikasi politik dan ekonomi.
Ada dua kutipan penting yang layak dibaca generasi saat ini. Yang pertama dari Ide Anak Agung Gde Agung, tokoh nasional berpengaruh pada awal kemerdekaan. Dalam sepuruk suratnya kepada Bung Hatta, 30 Maret 1965, ia menulis: "Keputusan pemerintah… di dalam bidang perminyakan, dilihat dari sudut politik ekonomi sama sekali tidak tampak keuntungannya bagi rakyat Indonesia. Mungkin dilihat dari segi ‘gagah-gagahan’ oleh karena berhasil lagi menggegerkan dunia atau mempersulit kepentingan Amerika dan dapat dengan ini memperlihatkan sikap anti-Amerika yang ekstrem para pemimpin di Jakarta akan berasa puas."
Lalu Bung Hatta menulis dengan bernas dalam "Cita-cita Koperasi dalam Pasal 33 UUD 1945", 6 Desember 1971: "Antara aktivitas koperasi yang bekerja dari bawah dan aktivitas pemerintah yang bekerja dari atas, masih luas bidang ekonomi yang dapat dikerjakan oleh swasta… di mana orang asing dan kapital asing diikutsertakan… Pokoknya modal asing yang bekerja di Indonesia itu membuka kesempatan bekerja bagi pekerja Indonesia sendiri. Daripada mereka hidup menganggur, lebih baik mereka bekerja dengan jaminan hidup yang cukup."
Hal yang perlu diwaspadai saat ini justru bukan soal sentimen nasionalisme pada pengalihan blok-blok, melainkan minimnya investasi baru di sektor pertambangan serta hulu minyak dan gas (migas). Tentu saja ini alarm tanda bahaya yang perlu diperhatikan. Beberapa lembaga kajian internasional bereputasi tinggi, seperti Fraser Institute, Energy Intelligence, IHS, dan WoodMackenzie, membandingkan seberapa kompetitif Indonesia dalam menarik investasi global di sektor hulu migas dan/atau pertambangan. Semuanya menyatakan Indonesia kurang atau malah tidak kompetitif dengan beragam gradasi "kesopanan". Artinya, calon investor tidak tertarik berinvestasi di Indonesia karena dianggap tak menarik dan tidak kompetitif. Faktornya, selain perpajakan, adalah keekonomian dan kepastian hukum.
Ketiadaan investasi baru berakibat pada rendahnya eksplorasi serta produksi dan ujungnya lifting minyak nasional yang cekak berakhir pada membesarnya tagihan impor bahan bakar minyak kita. Ini seperti menyimpan bom waktu yang akan menjadi masalah di kemudian hari.
Kita tak punya banyak pilihan. Meminjam pendapat Ide Anak Agung Gde Agung dan Bung Hatta, masalahnya bukan soal asing atau pribumi, melainkan bagaimana aliran modal dan pengelolaan ekonomi itu membawa manfaat bagi rakyat. Pemerintah adalah penilik yang wajib menjamin perekonomian berjalan dengan efisien dan adil.
Sentimen anti-asing seringkali dimunculkan menjelang pemilihan umum. Ini tak sehat dan tidak mencerdaskan masyarakat. Wacana yang sehat adalah yang berfokus pada manfaat atau mudarat dari suatu investasi, bukan asal investasi tersebut. Kita juga harus adil bahwa banyak perusahaan Indonesia, termasuk badan usaha milik negara, juga berinvestasi di mancanegara. Globalisasi investasi adalah keniscayaan dan kita harus cerdas menyiasatinya.